Back to Top
Rating & Comment

KEBIJAKAN MANDATORI BIODIESEL 2015-2023 : MENANGGUNG MANFAAT DAN BEBAN BIAYA BERSAMA

JOURNAL AUTHOR

Dr. ir. tungkot sipayung

Executive Director at PASPI

Dr. Ir. Tungkot Sipayung is a seasoned professional in the palm oil industry with over 23 years of experience. Currently serving as Executive Director of PASPI, he is a recognized leader and expert in the development of agribusiness strategies. Under his leadership, PASPI continues to drive growth, innovation, and sustainability in the industry.

Bagikan Policy Brief
CITE THIS POLICY BRIEF

Indonesia telah mencatatkan diri sebagai Top-3 produsen dan konsumen biodiesel dunia. Bahkan dalam produksi dan konsumsi biodiesel berbasis sawit, Indonesia merupakan terbesar di dunia.

Keberhasilan Indonesia dalam industri biodiesel tersebut merupakan hasil dari konsistensi Indonesia dalam menghasilkan dan mengkonsumsi biodiesel sebagai substitusi solar fosil. Meskipun pengembangan biodiesel sudah dimulai sejak tahun 2004 (ketika Indonesia berubah dari net ekspor menjadi net impor minyak fosil), perkembangan biodiesel mencatat pertumbuhan yang pesat sejak tahun 2015 setelah Pemerintah mengeluarkan kebijakan insentif pembiayaan konsumsi biodiesel yang menutupi selisih Harga Indeks Pasar (HIP) Biodiesel dengan solar yang ditetapkan pemerintah setiap bulan (PASPI Monitor, 2023a). Dukungan insentif tersebut berasal dari dana sawit hasil pungutan ekspor (export levy) sawit yang dikelola oleh Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (PASPI Monitor, 2023b).

Dengan insentif biodiesel tersebut, mandatori biodiesel diperluas ke seluruh sektor dan peningkatan blending rate antara biodiesel sawit (FAME) dengan solar fosil. Semula kebijakan mandatori biodiesel hanya diwajibkan pada sektor PSO (Public Service Obligation), namun sejak tahun 2018 (B20) diperluas ke sektor non-PSO (Gambar 1).  Mandatori biodiesel semakin intensif sejak tahun 2018/2019, dimana blending rate biodiesel ditingkatkan dari B20 menjadi B30 pada tahun 2020 dan terus ditingkatkan menjadi B35 sejak tahun 2023.

Gambar 1. Perkembangan Implementasi Kebijakan Mandatori Biodiesel di Indonesia

Perjalanan Panjang Pengembangan Program Mandatori Biodiesel di Indonesia

Kebijakan mandatori biodiesel tersebut menciptakan berbagai manfaat bagi masyarakat secara keseluruhan. Manfaat dari pengembangan biodiesel di Indonesia dinikmati seluruh masyarakat/ sektor pembangunan baik secara langsung maupun secara tidak langsung.

Seiring dengan makin intensifnya implementasi mandatori biodiesel tersebut, biaya (insentif) mandatori biodiesel juga meningkat. Menurut data BPDPKS (2023, 2024a), biaya insentif mandatori biodiesel relatif berfluktuasi namun trennya mengalami peningkatan dari sekitar Rp 0.6 Triliun tahun 2015 menjadi sekitar Rp 34.6 Triliun tahun 2022 dan Rp 18.3 Triliun tahun 2023. 

Pembiayaan insentif mandatori biodiesel tersebut bersumber dari pungutan ekspor (export levy) sawit. Hal ini juga berarti semua beban biaya mandatori biodiesel hanya menjadi beban pelaku industri sawit. Jika kebijakan biodiesel bersifat mandatori (wajib), maka seharusnya biaya mandatori biodiesel ditanggung bersama, sebagaimana manfaatnya yang juga dinikmati oleh seluruh stakeholder.

Artikel ini akan mendiskusikan manfaat dari kebijakan mandatori biodiesel di Indonesia. Kemudian didiskusikan bagaimana biaya mandatori biodiesel tersebut seharusnya ditanggung bersama oleh seluruh stakeholder.


MANFAAT DINIKMATI BERSAMA

Sebagaimana terjadi diberbagai negara yang mengembangkan biodiesel, pengembangan biodiesel berbasis sawit di Indonesia juga telah menciptakan berbagai manfaat sosial, ekonomi, dan ekologi yang dinikmati masyarakat secara keseluruhan. Setidaknya terdapat tujuh manfaat dari pelaksanaan kebijakan mandatori biodiesel di Indonesia.

Pertama, membangun ketahanan energi berkelanjutan (sustainable energy security). Ketersediaan energi merupakan kebutuhan mendasar masyarakat dan pembangunan secara keseluruhan. Sejak tahun 2004, Indonesia telah menjadi net impor minyak fosil dan sejak tahun tersebut ketergantungan pada impor minyak fosil makin meningkat dari tahun ke tahun seiring dengan pertumbuhan penduduk dan pembangunan. Ketergantungan Indonesia bukan hanya pada impor minyak fosil tetapi juga pada energi (minyak fosil) yang dikenal sebagai energi tak terbaharui (non-renewable energy) dan kontributor utama emisi gas rumah kaca dunia (PASPI, 2023). Untuk itu pemerintah berupaya mengembangkan bauran energi (energy mix) dengan makin meningkatkan porsi penggunaan energi terbarukan (renewable energy), termasuk didalamnya pengembangan biodiesel berbasis sawit.

Dalam 10 tahun terakhir implementasi kebijakan mandatori biodiesel di Indonesia telah mampu mengurangi ketergantungan impor solar fosil cukup drastis. Pada tahun 2010, persentase volume solar fosil impor dari total konsumsi solar fosil domestik masih cukup tinggi mencapai 41 persen, namun terus mengalami penurunan dengan cepat sehingga persentasenya menjadi 10 persen pada tahun 2021 (PASPI, 2023; PASPI Monitor, 2023a).

Implementasi mandatori biodiesel (substitusi solar fosil) telah mengurangi ketergantungan pada impor solar fosil. Menurut data BPDPKS (2023, 2024a,b) volume penghematan penggunaan solar fosil akibat mandatori biodiesel mengalami peningkatan dari sekitar 915 ribu kiloliter tahun 2015 menjadi 3.8 juta kiloliter tahun 2018 dan meningkat menjadi 12.3 juta kiloliter tahun 2023.

Penurunan ketergantungan indonesia pada impor solar fosil dan makin besarnya komponen biodiesel sawit domestik dalam sektor energi nasional tersebut merupakan bagian penting dari  ketahanan energi nasional.

Kedua, penghematan devisa dan penyehatan neraca perdagangan migas. Neraca perdagangan minyak dan gas (migas) Indonesia dalam 20 tahun terakhir selalu negatif dengan defisit yang terus meningkat akibat impor minyak fosil yang terus meningkat. Kebijakan mandatori biodiesel domestik yang berdampak pada penurunan impor solar fosil tersebut juga secara langsung menghemat devisa untuk impor solar fosil atau dapat disebut sebagai devisa substitusi impor (PASPI, 2023; PASPI Monitor, 2023a).

Dalam lima tahun terakhir, penghematan devisa impor solar fosil mengalami peningkatan seiring dengan meningkatnya blending rate biodiesel sawit (Gambar 2). Data BPDPKS (2024b) menunjukkan bahwa devisa solar impor yang dihemat meningkat dari Rp 3.7 Triliun tahun 2015 menjadi Rp 26.7 Triliun tahun 2018, dan terus naik menjadi Rp 121.5 Triliun tahun 2023.

Gambar 1. Penghematan Devisa Solar Impor Akibat Kebijakan Mandatori Biodiesel di Indonesia (Sumber: BPDPKS, 2024b)

Penghematan Devisa Solar Impor Akibat Kebijakan Mandatori Biodiesel di Indonesia
Penghematan devisa impor solar fosil tersebut mengurangi defisit neraca perdagangan migas.  Melalui penghematan devisa substitusi impor, defisit neraca perdagangan migas makin rendah (PASPI Monitor, 2024). Misalnya pada tahun 2023, defisit neraca perdagangan migas “Dengan Mandatori Biodiesel” sebesar USD 19.9 miliar atau lebih rendah defisit “Tanpa Mandatori Biodiesel” (USD 30.4 miliar). Hal ini menunjukkan bahwa mandatori biodiesel menjadi instrumen penting dalam mengurangi defisit neraca perdagangan migas Indonesia. 

Ketiga, pertumbuhan ekonomi nasional dan daerah. Hilirisasi minyak sawit (CPO) menjadi biodiesel menciptakan nilai tambah (added value) bagi perekonomian Indonesia (Gambar 3). Nilai tambah yang dihasilkan dari biodiesel domestik meningkat dari sekitar Rp 1.5 Triliun tahun 2015 menjadi Rp 5.8 Triliun tahun 2018 dan terus meningkat menjadi Rp 15.9 Triliun tahun 2023.

Gambar 3. Peningkatan Nilai Tambah Minyak Sawit (CPO) menjadi Biodiesel Akibat Kebijakan Mandatori Biodiesel di Indonesia (Sumber: BPDPKS, 2024b)

Peningkatan Nilai Tambah Minyak Sawit CPO menjadi Biodiesel Akibat Kebijakan Mandatori Biodiesel di Indonesia

Peningkatan nilai tambah tersebut juga searah dengan berbagai studi yang mengungkapkan bahwa produksi biodiesel sawit di Indonesia berdampak pada peningkatan pertumbuhan ekonomi (Susila dan Munadi, 2008; Joni et al., 2010; Obidzinski et al., 2012; Su Ye, 2017; Singagerda et al., 2018; PASPI 2023; PASPI Monitor, 2021, 2023a). Studi Sahara et al. (2022) juga mengungkapkan bahwa kebijakan mandatori biodiesel B30 meningkatkan nilai tambah baik pada sektor perkebunan sawit itu sendiri maupun industri hilir sawit (oleokimia). Peningkatan nilai tambah tersebut juga berimplikasi pada peningkatan GDP riil Indonesia.

Perkembangan industri biodiesel juga berdampak positif pada kinerja perekonomian dan pembangunan daerah (Obidzinski et al., 2012; Thondhlana, 2014; Nuva et al., 2019; Yasinta dan Karuniasa, 2021). Industri biodiesel merupakan industri hilir yang menggunakan minyak sawit sebagai bahan baku, dimana bahan baku tersebut dihasilkan oleh perkebunan sawit yang tersebar di daerah. Sehingga dengan semakin berkembangnya industri biodiesel akan turut menggerakkan perekonomian daerah.

Studi Sahara et al. (2022) menemukan bahwa pertumbuhan PDRB akibat kebijakan mandatori biodiesel (B30) terjadi baik di provinsi sawit maupun provinsi non-sawit. Peningkatan PDRB juga terjadi di provinsi non-sawit seperti Jawa Timur, Jawa Tengah, dan Jawa Barat, meskipun ketiga provinsi tersebut bukan termasuk sentra produksi minyak sawit, namun sebagian besar lokasi industri biodiesel maupun industri hilir sawit lainnya tersebar di provinsi di Pulau Jawa.

Dengan demikian, kiranya jelas ditunjukkan bahwa perkembangan industri biodiesel yang didukung dengan kebijakan mandatori memberikan dampak positif yang inklusif terhadap perekonomian (PASPI Monitor, 2023c). Pertumbuhan ekonomi tersebut tidak hanya dinikmati oleh provinsi sawit sebagai penghasil bahan baku biodiesel, tetapi juga dinikmati provinsi-provinsi non-sawit melalui multiplier effect yang ditimbulkannya.

Keempat, peningkatan kesempatan kerja dan pengurangan kemiskinan. Biodiesel juga menghasilkan manfaat sosial berupa penciptaan kesempatan kerja dan pengurangan kemiskinan. Tenaga kerja yang terserap akibat program mandatori biodiesel ini tidak hanya pada level industri (off farm), tetapi juga pada level kebun (on farm). Data BPDPKS (2024b) mengungkapkan bahwa jumlah tenaga kerja on farm dan off farm mengalami peningkatan setiap tahunnya. Pada tahun 2015, tenaga kerja pada level kebun (on farm) sebesar 114.4 ribu orang dan tenaga kerja pada level kebun (off farm) sebesar 863 orang. Jumlah tenaga kerja yang terserap pada tahun 2023 mengalami peningkatan signifikan menjadi 1.5 juta orang pada level kebun (off farm) dan 11.6 ribu orang pada level kebun (off farm).

Berbagai studi terdahulu juga mengungkapkan bahwa pengembangan biodiesel sawit menciptakan kesempatan kerja dan mengurangi kemiskinan pedesaan maupun perkotaan (Susila dan Munadi, 2008; Joni et al., 2010; Singagerda et al., 2018). Peningkatan kesempatan kerja dan pengurangan kemiskinan akibat dari peningkatan konsumsi biodiesel bukan hanya terjadi pada industri biodiesel saja (direct effect), tetapi juga pada industri-industri pemasok bahan baku ke industri biodiesel (indirect effect) maupun perekonomian secara keseluruhan.

Kelima, stabilisasi harga TBS domestik dan instrumen pengelolaan pasar sawit dunia. Indonesia merupakan negara produsen sekaligus eksportir terbesar minyak sawit dunia. Besar kecilnya volume ekspor minyak sawit dari Indonesia sangat mempengaruhi pergerakan harga minyak sawit dunia. Oleh karena itu, diperlukan suatu instrumen yang dapat menempatkan Indonesia sebagai game changer pasar minyak sawit dunia.

Mandatori biodiesel menjadi salah satu instrumen game changer tersebut dan menjadi variabel penting mempengaruhi dinamika harga sawit dunia (PASPI 2023; PASPI Monitor, 2021, 2023a). Volume minyak sawit yang diserap dalam mandatori biodiesel domestik sebesar 7.2 juta ton tahun 2020 kemudian meningkat menjadi sekitar 11 juta ton tahun 2023. Besarnya penyerapan minyak sawit domestik untuk kebijakan mandatori biodiesel tersebut mengurangi ekspor minyak sawit Indonesia ke pasar dunia sehingga mempengaruhi stok minyak sawit (menjaga excess demand) di negara-negara importir sawit dunia.

Selama implementasi mandatori biodiesel B30 di Indonesia pada tahun 2020-2021, volume stok minyak sawit di negara importir dunia anjlok sebesar 36 persen. Selain dipengaruhi faktor eksternal lainnya, kondisi tersebut menyebabkan peningkatan harga minyak sawit dunia (PASPI Monitor, 2022).

Sejak implementasi mandatori biodiesel B30 di Indonesia harga CPO dunia mengalami peningkatan. Harga CPO dunia tahun 2018 masih rata-rata USD 591 per ton namun mengalami peningkatan menjadi USD 705 per ton tahun 2020 dan terus meningkat hingga mencapai USD 1,347 per ton tahun 2022. Tentu saja ada banyak variabel yang mempengaruhi dinamika harga CPO dunia tersebut. Namun variabel implementasi B30 di Indonesia yang menyerap sekitar 15 persen produksi CPO dunia (kurang lebih sebesar konsumsi CPO India dan China) menjadi variabel yang sangat berpengaruh terhadap harga CPO yang “meroket”.

Peningkatan harga CPO dunia tersebut secara langsung meningkatkan harga TBS domestik termasuk TBS petani sawit. Misalnya, ketika harga minyak sawit dunia mengalami peningkatan dari USD 537 per ton pada Januari 2019 menjadi USD 1,823 per ton pada bulan Maret 2022, petani sawit juga menikmati harga TBS yang relatif tinggi sekitar Rp 1,800-2,550 per kilogram pada periode yang sama. Harga TBS tersebut relatif lebih tinggi dibandingkan tingkat harga sebelum diimplementasikannya mandatori biodiesel B30.

Keenam, peningkatan pendapatan rumah tangga petani sawit dan rumah tangga non petani sawit. Peningkatan harga minyak sawit dan TBS sebagai bahan baku biodiesel akan meningkatkan pendapatan pelaku usaha perkebunan sawit, termasuk petani sawit (Joni et al., 2012; Nuva et al., 2019; Murta et al., 2020; Wang, 2022). Peningkatan pendapatan yang diterima oleh petani sawit maupun pekerja di korporasi perkebunan sawit tersebut juga akan menciptakan multiplier effect berupa peningkatan pendapatan masyarakat pedesaan di sekitar kebun sawit (PASPI, 2014, 2022, 2023; Rifin, 2011; Gatto et al., 2017, Edwards, 2019). Artinya peningkatan pendapatan petani sawit (dan rumah tangganya) akibat pengembangan biodiesel juga akan turut meningkatkan pendapatan masyarakat (Joni et al., 2012; Dharmawan et al., 2016; Renzaho et al., 2017; Singagerda et al., 2018; Nuva et al., 2019; Yasinta dan Karuniasa, 2021; PASPI Monitor, 2021; PASPI, 2023a; Wang, 2022).

Sahara et al. (2022) melakukan studi secara spesifik untuk mengukur dampak kebijakan mandatori biodiesel (B30) pada pendapatan rumah tangga di kawasan pedesaan dan perkotaan. Rumah tangga tersebut terbagi dalam 5 kelompok rumah tangga kawasan pedesaan dan 3 kelompok rumah tangga kawasan perkotaan. Hasil studi tersebut mengungkapkan bahwa kebijakan mandatori B30 tersebut berdampak pada peningkatan pendapatan pada seluruh kelompok rumah tangga berbagai tingkat pendapatan di pedesaan maupun perkotaan (PASPI Monitor, 2023c).

Ketujuh, pengurangan emisi. Indonesia telah berkomitmen ke masyarakat dunia (Paris Agreement) untuk ikut proaktif menurunkan emisi karbon. Untuk mewujudkan komitmen tersebut, Indonesia telah menetapkan Nationally Determined Contribution yakni sebesar 29 persen dengan inisiatif sendiri hingga 41 persen dengan dukungan kerjasama internasional pada tahun 2030.

Substitusi solar fosil dengan biodiesel sawit dapat menurunkan emisi Gas Rumah Kaca (GRK) sekitar 40-70 persen. Berdasarkan data Kementerian ESDM dan BPDPKS (Gambar 4) mengungkapkan bahwa dalam periode pelaksanaan mandatori biodiesel 2015-2023, pengurangan emisi gas rumah kaca meningkat signifikan dari sekitar 2.4 juta ton CO2 eq tahun 2015 menjadi 32.7 juta ton CO2 eq.

Gambar 4. Penurunan Emisi GRK yang Meningkat Akibat Kebijakan Mandatori Biodiesel di Indonesia (Sumber: BPDPKS, 2024b)

Penurunan Emisi GRK yang Meningkat Akibat Kebijakan Mandatori Biodiesel di Indonesia

Dalam target NDC, pengurangan emisi karbon dari sektor energi tahun 2023 ditargetkan sebesar 116 juta ton CO2 eq. Artinya penurunan emisi GRK akibat kebijakan mandatori biodiesel tahun 2023 mampu mencapai sekitar 28 persen dari target NDC sektor energi tersebut. Hal ini menunjukkan bahwa kebijakan mandatori biodiesel tersebut berkontribusi dalam pencapaian target penurunan emisi GRK Indonesia (PASPI, 2023; PASPI Monitor, 2021, 2023a).

Setidaknya ketujuh manfaat akibat implementasi kebijakan mandatori biodiesel tersebut dinikmati bersama baik secara langsung oleh pelaku langsung (produsen bahan baku dan industri biodiesel) maupun secara tidak langsung (indirect effect dan induced consumption effect) oleh seluruh masyarakat Indonesia. Manfaat-manfaat yang dimaksud mencakup manfaat ekonomi, sosial dan ekologi. Semakin intensif implementasi mandatori biodiesel semakin besar manfaat yang dinikmati masyarakat.


MENUJU MANDATORI BIODIESEL BEBAN BERSAMA

Implementasi mandatori biodiesel tersebut memerlukan biaya yang relatif besar untuk menutup selisih antara harga impor solar fosil dengan harga pembelian dan transportasi biodiesel dari produsen biodiesel ke Pertamina. Berdasarkan data BPDPKS (2023, 2024a) biaya insentif mandatori biodiesel (Gambar 5) makin meningkat seiring dengan makin intensifnya mandatori biodiesel.

Gambar 5. Realisasi Biaya Insentif Mandatori Biodiesel Periode 2015-2023* (Sumber: BPDPKS, 2023, 2024a*)

Realisasi Biaya Insentif Mandatori Biodiesel Periode 2015 2023

Biaya insentif biodiesel meningkat dari Rp 0.5 Triliun tahun 2015 menjadi Rp 34.6 Triliun tahun 2022. Dalam Laporan Kinerja BPDPKS tahun 2023 (BPDPKS, 2024a) mengungkapkan bahwa pembayaran dana insentif untuk pengembangan biodiesel tahun 2023 mencapai Rp 18.3 Triliun. Selain akibat peningkatan volume implementasi mandatori biodiesel, besarnya nilai insentif tersebut dipengaruhi oleh harga solar fosil dunia dan harga CPO dunia, sebagaimana dalam formula HIP Solar Fosil dan HIP Biodiesel yang ditetapkan pemerintah.

Selama ini, biaya pelaksanaan mandatori biodiesel seluruhnya dibiayai dari dana pungutan ekspor sawit (export levy). Secara akumulatif periode tahun 2015-2023, nilai pungutan ekspor sawit diperkirakan mencapai Rp 206.3 Triliun (BPDPKS, 2023, 2024a). Sementara itu, akumulasi total biaya insentif mandatori biodiesel (Gambar 5) mencapai Rp 162.9 Triliun. Artinya sekitar 79 persen dari dana pungutan ekspor sawit digunakan untuk membiayai kebijakan mandatori biodiesel.

Hal ini juga berarti seluruh biaya pelaksanaan mandatori biodiesel hanya ditanggung oleh industri sawit nasional termasuk petani sawit melalui levy ekspor sawit. Pembiayaan mandatori biodiesel yang demikian yang hanya ditanggung industri sawit, sementara manfaatnya dinikmati bersama seluruh stakeholder sektor-sektor nasional dinilai tidak adil.

Besarnya alokasi pungutan ekspor sawit untuk kebijakan mandatori biodiesel menunjukkan bahwa pengurangan alokasi pungutan ekspor untuk penggunaan/program lain untuk pengembangan industri sawit nasional sesuai yang telah diamanatkan oleh UU No. 39 Tahun 2014 tentang Perkebunan (PASPI Monitor, 2023b). Program yang dimaksud seperti replanting, riset dan pengembangan, sarana prasarana, promosi, dan pengembangan SDM, dimana program-program tersebut sangat diperlukan untuk membangun industri sawit nasional yang lebih berdaya saing dan berkelanjutan, termasuk didalamnya pengembangan perkebunan sawit rakyat.

Menjelang 10 tahun implementasi mandatori biodiesel di Indonesia dapat dijadikan sebagai momentum untuk melakukan evaluasi pembiayaan mandatori biodiesel tersebut. Komitmen Indonesia untuk mengurangi emisi dari sektor energi fosil sudah sangat tepat. Komitmen Indonesia untuk mengurangi ketergantungan pada energi fosil dan mencegah deplesi cadangan energi fosil untuk generasi anak cucu, juga sudah tepat. Oleh karena itu pada level implementasi seperti mandatori biodiesel, komitmen bersama tersebut perlu diterjemahkan dalam bentuk aksi bersama dan menanggung bersama biaya implementasinya.

Sebagai kebijakan mandatori, seharusnya biaya pelaksanaan mandatori biodiesel menjadi tanggungan seluruh stakeholder pembangunan dan tidak hanya menjadi beban industri sawit. Industri sawit tentu saja ikut menanggung sebagian pembiayaan, namun Pertamina sebagai pengelola produksi dan distribusi biodiesel juga seharusnya turut ikut menanggung beban tersebut. Demikian juga konsumen energi (kecuali konsumen yang patut disubsidi) juga seharusnya turut mengambil bagian dalam menanggung beban tersebut.

Tentu saja, perubahan penanggungan beban tersebut dilakukan secara bertahap hingga suatu saat, beban industri sawit pada biaya mandatori biodiesel (juga biofuel lainya) menjadi lebih realistis dan reasonable. Dengan demikian, dana pungutan ekspor dapat lebih banyak dialokasikan untuk membangun industri sawit yang lebih berdaya saing dan lebih berkelanjutan.   


Kesimpulan

Setidaknya terdapat tujuh manfaat implementasi mandatori biodiesel dalam perekonomian nasional yakni ketahanan energi, penghematan devisa dan penyehatan neraca perdagangan migas, pertumbuhan ekonomi nasional dan daerah, peningkatan kesempatan kerja dan pengurangan kemiskinan, stabilisasi harga CPO/TBS domestik, peningkatan pendapat rumah tangga pedesaan dan perkotaan, serta pengurangan emisi GRK. Ketujuh manfaat tersebut dinikmati secara bersama sama oleh stakeholder pembangunan maupun masyarakat secara keseluruhan.

Di sisi lain, beban pelaksanaan mandatori biodiesel tersebut selama ini sepenuhnya masih menjadi beban industri sawit nasional. Diperkirakan beban pembiayaan mandatori biodiesel tersebut mencapai 79 persen dari pungutan ekspor (levy). Diperlukan reformasi pembiayaan mandatori biodiesel ke depan dengan mendistribusikan beban biaya mandatori biodiesel ke stakeholder lain secara reasonable.


Implikasi Kebijakan

Diperlukan reformasi pembiayaan mandatori biodiesel melalui pendistribusian beban biaya mandatori biodiesel ke stakeholder lain secara reasonable, mengingat manfaat dari kebijakan mandatori biodiesel tersebut juga turut dirasakan oleh stakeholder pembangunan lainnya maupun masyarakat secara keseluruhan. Pemerintah sebagai regulator perlu mengembangkan kebijakan yang komprehensif untuk memfasilitasi penanggungan bersama biaya mandatori biodiesel tersebut. Diharapkan melalui reformasi distribusi beban biaya tersebut yang tidak lagi sepenuhnya ditanggung oleh industri sawit, maka dana pungutan ekspor dapat dialokasikan dengan lebih optimal pada program-program pengembangan industri sawit nasional, khususnya perkebunan sawit rakyat. 

ACKNOWLEDGEMENT

Penulis mengucapkan terima kasih atas dukungan dana dari Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS) dalam penyusunan artikel diseminasi dan policy brief ini.


Daftar Pustaka (Link)

  1. [BPDPKS] Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit. 2023. Kinerja Program BPDPKS
  2. [BPDPKS] Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit. 2024a. Laporan Kinerja BPDPKS 2023.
  3. [BPDPKS] Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit. 2024b. Manfaat Implementasi Program Biodiesel Berbasis Sawit Periode 2015-2023.
  4. Edwards RB. 2019. Export Agriculture and Rural Poverty: Evidence from Indonesian Palm Oil. Working Paper Dartmouth College.
  5. Gatto M, Wollni M, Asnawi R, Qaim M. 2017. Oil Palm Boom, Contract Farming, and Rural Economic Development: Village-Level Evidence from Indonesia. World Development. 95(C): 127-140.
  6. Joni RE, Gumbira S, Harianto, N Kusnadi. 2010. Impact of Palm Oil Based Biodiesel Industry Development on Palm Plantation and Its Industry in Indonesia. Jurnal Teknologi Industri Pertanian. 20 (3): 143-151. 
  7. Kementerian ESDM. 2021. Roadmap Pengembangan Bahan Bakar Nabati. Materi presentasi pada Webinar Palm O’Corner tanggal 29 Mei 2021.
  8. Murta ALS, Freitas MAV De, Ferreira CG, Da Costa Lima Peixoto MM. 2021. The Use of Palm Oil Biodiesel Blends in Locomotives: An Economic, Social and Environmental Analysis. Renewable. Energy. 164:521– 530.
  9. Nuva, Fauzi A, Dharmawan AH, Putri EIK. 2019. Ekonomi Politik Energi Terbarukan dan Pengembangan Wilayah: Persoalan Pengembangan Biodiesel di Indonesia. Sodality: Jurnal Sosiologi Pedesaan. 7(2): 111-119. 
  10. Obidzinski K, Andriani R, Komarudin H, Andrianto A. 2012. Environmental and Social Impacts of Oil Palm Plantations and Their Implications for Biofuel Production in Indonesia. Ecology and Society. 17(1): 25-44.
  11. [PASPI] Palm Oil Agribusiness Strategic Policy Institute. 2014. The Sustainability of Indonesian Palm Oil Industry Its role in: Economic Growth, Rural Development, Poverty Reduction, and Environmental Sustainability. Bogor (ID): PASPI. 
  12. [PASPI] Palm Oil Agribusiness Strategic Policy Institute. 2022. Analisis Komparasi Kemajuan Sosial, Ekonomi & Ekologi Antara “Desa Sawit” Vs “Desa Non-Sawit” di Indonesia. Bogor (ID): PASPI.
  13. [PASPI] Palm Oil Agribusiness Strategic Policy Institute. 2023. Mitos dan Fakta Industri Minyak Sawit Indonesia dalam Isu Sosial, Ekonomi, dan Lingkungan Global. Edisi Keempat. Bogor (ID): PASPI.
  14. PASPI Monitor. 2021. Multiple Benefits of the palm oil Biodiesel Mandatory. Journal Analysis of Palm Oil Strategic Issues. 2(16): 369-376.
  15. PASPI Monitor. 2022. Kebijakan Stabilisasi Minyak Goreng Domestik. Palm O’Journal: Analisis Isu Strategis Sawit. 3(6): 619-626.
  16. PASPI Monitor. 2023a. Peran Strategis Kebijakan Mandatori Biodiesel Sawit dalam Ekonomi Indonesia. Artikel Diseminasi dan Policy Brief. 1(3).
  17. PASPI Monitor. 2023b. Peranan Kebijakan Pungutan Ekspor Sawit dan BPDPKS dalam Industri Sawit Nasional. Artikel Diseminasi dan Policy Brief. 1(9).
  18. PASPI Monitor. 2023c. Dampak Mandatori Biodiesel Bagi Perekonomian Daerah dan Pendapatan Rumah Tangga. Artikel Diseminasi dan Policy Brief. 1(10).
  19. PASPI Monitor. 2024. Kontribusi Sawit Sebagai Sumber Devisa Dan Surplus Neraca Perdagangan Indonesia. Journal of Analysis Palm Oil Strategic Issues. 4(19): 869-874.
  20. Renzaho AMN, Kamara JK, Toole M. 2017. Biofuel Production and Its Impact on Food Security in Low- and Middle-Income Countries: Implications for The Post 2015 Sustainable Development Goals. Renewable Sustainable Energy Review. 78: 503–516. doi:10.1016/j.rser.2017.04.072. 
  21. Rifin A. 2011. The Role of Palm Oil Industry in Indonesian Economy and Its Competitiveness. [disertasi]. Tokyo (JP): University of Tokyo.
  22. Sahara, Dermawan A, Amaliah S, Irawan T, Dilla S. 2022. Economic Impacts of Biodiesel Policy in Indonesia: A Computable General Equilibrium Approach. Journal Economic Structures. 11: 1-22.
  23. Singagerda FS, TY Hendrowati, A Sanusi. 2018. Indonesia Growth of Economics and the Industrialization Biodiesel Based CPO. International Journal of Energy Economics and Policy. 8(5): 319-334.
  24. Su Ye. 2017. Economic Impact of The Minnesota Biodiesel Industry. America’s Advance Biodiesel. 
  25. Susila WR, Munadi E. 2008. Impacts Of The Development of CPO-Based Biodiesel On Poverty In Indonesia. Informatika Pertanian. 17(2):1173–1194.
  26. Thondhlana G. 2014. The local Livelihood Implications of Biofuel Development and Land Acquisitions in Zimbabwe. Discussion Series Paper No. 11. Africa Initiative and the Centre for International Governance Innovation.
  27. Wang CH. 2022. Energy Transition to Palm Oil-Based Biofuel in Indonesia: Internalization of Global Production Network and The Impact on Different Actors. [tesis]. Norway (NO): Norwegian University of Science and Technology.
  28. Yasinta T, Karuniasa M. 2021. Palm Oil-Based Biofuels And Sustainability In Indonesia: Assess Social, Environmental And Economic Aspects. IOP Conference Series: Earth and Environmental Science No. 716.
Bagikan Jurnal
0 0 votes
Berikan Rating Untuk Artikel Ini
Subscribe
Notify of
guest
0 Comments
Inline Feedbacks
View all comments
0
Would love your thoughts, please comment.x
()
x