Perkembangan industri sawit dunia yang tergolong revolusioner, telah merubah peta persaingan minyak nabati global. Minyak kedelai, minyak bunga matahari, dan minyak rapeseed yang pada masa sebelumnya mendominasi pasar minyak nabati dunia, namun kini tergeser oleh minyak sawit. Perubahan posisi tersebut telah melahirkan dinamika baru dalam persaingan minyak nabati global. Harga minyak sawit yang lebih kompetitif dibanding minyak nabati lainnya, telah menggeser persaingan dari persaingan harga (price competition) menjadi persaingan non-harga (non-price competition). Dalam realitas persaingan non-harga cenderung mengarah pada persaingan tidak sehat seperti kampanye negatif bahkan kampanye hitam yang menyudutkan minyak sawit.

Kampanye yang menyudutkan minyak sawit telah terjadi sejak awal tahun 1980-an dan semakin intensif hingga hari ini. Kombinasi bentuk persaingan bisnis minyak nabati yang disertai kebijakan proteksionisme dengan mengeksploitasi isu-isu sosial, ekonomi, lingkungan dan kesehatan, telah mewarnai dinamika pasar minyak sawit dunia.
Materi Isu Minyak Sawit dalam Persaingan Minyak Nabati Global
- Mitos 2-01 | Perkebunan kelapa sawit lebih ekspansif dari tanaman minyak nabati lainnya
- Mitos 2-02 | Perkebunan kelapa sawit dunia lebih luas dari tanaman minyak nabati utama lainnya, sehingga produksi minyak sawit dunia lebih tinggi dari minyak nabati utama lainnya
- Mitos 2-03 | Produktivitas minyak dari perkebunan kelapa sawit lebih rendah dibandingkan dengan produktivitas tanaman minyak nabati lain sehingga tidak ekonomis untuk dijadikan sebagai sumber minyak nabati utama dunia
- Mitos 2-04 | Perkebunan kelapa sawit merupakan tanaman monokultur terluas di dunia
- Mitos 2-05 | Harga minyak sawit lebih mahal dibandingkan minyak nabati lainnya sehingga tidak layak menjadi sumber bahan pangan maupun energi dunia
- Mitos 2-06 | Pangsa konsumsi minyak sawit dalam konsumsi minyak nabati masyarakat dunia relatif kecil dibandingkan minyak nabati lainnya
- Mitos 2-07 | Isu Persaingan Minyak Nabati Global : Minyak sawit tidak sesuai untuk digunakan sebagai bahan baku biodiesel
- Mitos 2-08 | Penggunaan minyak sawit sebagai bahan baku biodiesel Uni Eropa mengalami penurunan
- Mitos 2-09 | Pengembangan biofuel sawit menyebabkan trade-off food-fuel
Mitos 2-01 Perkebunan kelapa sawit lebih ekspansif dari tanaman minyak nabati lainnya
Secara internasional, terdapat 17 jenis minyak nabati sebagai sumber minyak dan lemak dunia yang diperdagangkan secara global dengan standar mutu dan keamanan pangan diatur dan diakui oleh CODEX Alimentarius Commission (Hariyadi, 2010). Dari 17 jenis sumber minyak nabati tersebut, terdapat empat jenis minyak nabati utama dunia yakni minyak sawit (Crude Palm Oil, Crude Palm Kernel Oil), minyak kedelai (Soybean Oil), minyak rapeseed (Rapeseed Oil) dan minyak bunga matahari (Sunflower Oil).
show morePerluasan perkebunan kelapa sawit dunia yang cepat sesungguhnya hanya dibesar-besarkan saja. Data menunjukkan bahwa ekspansi perkebunan kelapa sawit dunia jauh lebih rendah dibandingkan dengan ekspansi areal tanaman minyak nabati utama seperti kedelai, rapeseed, dan bunga matahari (Tabel 1).
Tabel 1 : Perubahan Luas Areal Tanaman Minyak Nabati Utama Dunia Periode Tahun 1980-2021
Tanaman Minyak Nabati | 1980* | 2000* | 2021* |
---|---|---|---|
Kedelai | 48,488 | 75,472 | 129,998 |
Rapeseed | 9,893 | 24,742 | 37,788 |
Bunga Matahari | 5,292 | 19,764 | 28,420 |
Kelapa Sawit | 1,027 | 10,093 | 25,058 |
Pada tahun 2021, luas areal tanaman kedelai dunia mencapai 129.9 juta hektar. Selanjutnya tanaman rapeseed dan tanaman bunga matahari memiliki luas areal berturut-turut sebesar 37.8 juta hektar dan 28.4 juta hektar. Sedangkan luas areal perkebunan kelapa sawit dunia hanya sebesar 25 juta hektar.
Tidak hanya memiliki areal tanaman terluas, pertambahan luas areal tanaman kedelai selama periode tahun 1980-2021 juga paling besar diantara ketiga tanaman minyak nabati lainnya. Tambahan (ekspansi) luas areal tanaman kedelai dunia mencapai 81.5 juta hektar. Sedangkan peningkatan luas areal perkebunan kelapa sawit dunia selama periode tersebut hanya seluas 24 juta hektar atau 29 persen dari tambahan luas areal kedelai dunia.
Jika diasumsikan asal usul lahan untuk tanaman minyak nabati tersebut berasal dari konversi hutan, maka perubahan tata guna lahan global, termasuk di dalamnya deforestasi (Land Use Land Use Change Forestry/LULUCF) yang terbesar, terjadi untuk ekspansi perkebunan kedelai. Kemudian disusul untuk perkebunan rapeseed dan perkebunan bunga matahari.
show lessMitos 2-02 Perkebunan kelapa sawit dunia lebih luas dari tanaman minyak nabati utama lainnya, sehingga produksi minyak sawit dunia lebih tinggi dari minyak nabati utama lainnya
Dalam produksi minyak nabati utama dunia telah terjadi perubahan komposisi selama periode tahun 1980-2021 (Gambar 1). Pada tahun 1980, produksi minyak nabati utama dunia masih didominasi oleh minyak kedelai dengan volume sebesar 9.9 juta ton (51 persen). Kemudian diikuti oleh minyak sawit sebesar 5.4 juta ton (28 persen), minyak rapeseed sebesar 2.6 juta ton (13 persen) dan minyak bunga matahari sebesar 1.5 juta ton (8 persen).
show moreGambar 1 : Perubahan Pangsa Produksi 4 Minyak Nabati Utama Global (Sumber: USDA; data diolah PASPI, 2022)

Komposisi produksi minyak nabati utama dunia mengalami perubahan pada tahun 2021 yakni munculnya minyak sawit sebagai sumber minyak nabati terbesar dunia dengan volume produksi sebesar 84.2 juta ton atau dengan pangsa 43 persen dari total produksi empat minyak nabati utama dunia. Kemudian diikuti oleh minyak kedelai sebesar 61.3 juta ton (32 persen), minyak rapeseed sebesar 27.9 juta ton (14 persen) dan minyak bunga matahari sebesar 22 juta ton (11 persen).
Namun demikian (Tabel 1 dan Gambar 2), dari luas areal empat tanaman minyak nabati utama dunia 2021 yakni sebesar 221.1 juta hektar, pangsa luas areal tanaman minyak nabati terbesar adalah kedelai yang mencapai 59 persen, kemudian disusul oleh pangsa luas areal rapeseed sebesar 17 persen, pangsa luas areal bunga matahari sebesar 13 persen dan pangsa luas perkebunan kelapa sawit sebesar 11 persen.
Gambar 2 : Perubahan Pangsa Luas Areal 4 Tanaman Minyak Nabati Utama Global (Sumber: USDA; data diolah PASPI, 2022)

Dengan demikian, sangat jelas bahwa luas areal perkebunan kelapa sawit justru paling kecil dibandingkan dengan luas areal tanaman minyak nabati lainnya. Dari produksi minyak, produksi minyak sawit adalah yang terbesar. Hal ini berarti perkebunan kelapa sawit lebih produktif dalam penggunaan lahan dibanding dengan tanaman minyak nabati lainnya.
show lessMitos 2-03 Produktivitas minyak dari perkebunan kelapa sawit lebih rendah dibandingkan dengan produktivitas tanaman minyak nabati lain sehingga tidak ekonomis untuk dijadikan sebagai sumber minyak nabati utama dunia
Dengan semakin terbatasnya lahan pertanian dunia, masyarakat dunia memerlukan sumber minyak nabati yang memiliki produktivitas minyak yang lebih tinggi. Sehingga dengan lahan yang semakin terbatas dapat dihasilkan minyak nabati dengan volume yang lebih besar.
show moreBerdasarkan data produktivitas tanaman minyak nabati utama dunia tahun 2021 (Tabel 2) menunjukkan bahwa produktivitas tanaman kelapa sawit dalam menghasilkan minyak nabati mencapai 3.36 ton minyak per hektar per tahun. Artinya dari satu hektar perkebunan kelapa sawit mampu menghasilkan minyak dengan volume sebesar 3.36 ton per tahun. Sedangkan produktivitas tanaman minyak nabati lainnya jauh lebih rendah dibandingkan kelapa sawit. Produktivitas minyak bunga matahari sebesar 0.78 ton per hektar, produktivitas minyak rapeseed sebesar 0.75 ton per hektar, dan produktivitas minyak kedelai hanya sebesar 0.47 ton per hektar. Hal ini menunjukkan bahwa produktivitas minyak per hektar yang dihasilkan kelapa sawit hampir 4-7 kali lipat produktivitas tanaman minyak nabati utama lainnya.
Tabel 2 : Perbandingan Realisasi Produktivitas Tanaman Minyak Nabati Utama Lainnya Tahun 2021
Jenis Tanaman | Produktivitas Minyak (Ton/Ha/Tahun) |
---|---|
Kelapa Sawit | 3.36 |
Bunga Matahari | 0.78 |
Rapeseed | 0.74 |
Kedelai | 0.47 |
Sumber: USDA; data diolah PASPI (2022)
Berdasarkan data tersebut sangat jelas bahwa dari segi produktivitas minyak per hektar, produktivitas kelapa sawit adalah tertinggi dibandingkan tanaman minyak nabati lain. Perkebunan kelapa sawit merupakan tanaman minyak nabati yang paling efisien dalam penggunaan lahan dibandingkan tanaman minyak nabati lain (IUCN, 2018).
Selain produktivitas minyak paling tinggi, tanaman kelapa sawit juga memiliki sejumlah keunggulan produksi yakni tergolong tanaman tahunan (perennial plant) dengan siklus produksi (life span) selama 25-30 tahun dan pemanenan minyak yang dilakukan setiap dua minggu sekali sepanjang tahun. Keunggulan tersebut menjadikan minyak sawit sebagai sumber minyak nabati utama dunia dengan availability tinggi (volume relatif besar dengan pasokan stabil sepanjang tahun) dan affordability tinggi (terjangkau dengan harga paling kompetitif) dibandingkan dengan minyak nabati lain (PASPI Monitor, 2021u). Berbagai keunggulan tersebut membuat minyak sawit memenuhi syarat sebagai minyak nabati dunia paling efisien.
show lessMitos 2-04 Perkebunan kelapa sawit merupakan tanaman monokultur terluas di dunia
Pada umumnya, komoditas pertanian utama dunia dibudidayakan secara monokultur. Gandum, jagung, kacang-kacangan, padi, dan tanaman lainnya yang ditanam di berbagai negara dibudidayakan secara monokultur. Menurut data USDA (2022), luas areal gandum dunia mencapai 221 juta hektar, luas areal jagung dunia mencapai 202 juta hektar, dan luas areal padi dunia mencapai 167 juta hektar (Gambar 3). Demikian juga dengan tanaman minyak nabati dunia yakni kedelai, rapeseed, bunga matahari dan kelapa sawit juga dibudidayakan secara monokultur.
show moreGambar 3 : Luas Areal Tanaman Gandum, Jagung, Padi dan Tanaman Minyak Nabati Dunia (Sumber: USDA, 2022)

Berdasarkan data tersebut menunjukkan bahwa perkebunan kelapa sawit dunia bukanlah tanaman monokultur yang terluas di dunia. Tanaman gandum, jagung, padi, maupun tanaman minyak nabati lainnya masih jauh lebih luas dibandingkan kelapa sawit.
Budidaya secara monokultur pada sektor pertanian dinilai rasional karena memiliki keunggulan yakni mampu mencapai economic of scale dan menghasilkan produktivitas tinggi. Memang harus diakui bahwa budidaya secara monokultur juga memiliki kelemahan antara lain resiko penyakit dan isu keanekaragaman hayati.
Perkebunan kelapa sawit sebetulnya tidak dapat dikategorikan sebagai monokultur murni seperti tanaman minyak nabati lainnya. Pada fase penanaman dan pemeliharaan Tanaman Belum Menghasilkan (TBM), di sela-sela tanaman kelapa sawit ditanam tanaman cover crop berupa tanaman kacang-kacangan (Prawirosukarto et al., 2005; Yasin et al., 2006; PASPI Monitor, 2021x). Selain itu, pelaku usaha perkebunan kelapa sawit juga mengembangkan berbagai pola integrasi seperti integrasi sawit dengan tanaman pangan (Partohardjono, 2003; Singerland et al., 2019; Baihaqi et al., 2020; Kusumawati et al., 2021) pada masa TBM/Immature dan integrasi sawit-ternak pada fase Tanaman Menghasilkan/Mature (Batubara, 2004; Sinurat et al., 2004; Ilham dan Saliem, 2011; Utomo dan Widjaja, 2012; Winarso dan Basuno, 2013).
Secara alamiah seiring dengan bertambahnya umur, tanaman kelapa sawit juga mengalami pertumbuhan biodiversitas. Karakteristik perkebunan kelapa sawit yang memiliki siklus produksi (life span) selama 25-30 tahun memungkinkan tumbuh berkembangnya kembali biodiversitas seperti pada hutan seiring dengan pertambahan umur tanaman kelapa sawit (PASPI Monitor, 2021a).
Studi Santosa et al. (2017) mengungkapkan bahwa jumlah jenis biodiversitas pada perkebunan kelapa sawit dewasa tidak selalu lebih rendah dibandingkan dengan biodiversitas yang ada pada lahan sebelum dijadikan perkebunan kelapa sawit (ecosystem benchmark) maupun biodiversitas pada areal berhutan (High Conservation Value/HCV), akibat dari pertumbuhan biodiversitas kebun sawit seiring dengan meningkatnya umur kebun sawit. Oleh karena itu, tidak mengherankan jika studi Beyer et al. (2020) dan PASPI Monitor (2021a) mengungkapkan dalam konteks ekosistem global, Species Richness Loss (SRL) per liter minyak nabati dari perkebunan kelapa sawit lebih rendah dibandingkan dengan pada tanaman minyak nabati lainnya seperti minyak kedelai, minyak rapeseed, minyak biji bunga matahari, minyak kacang tanah, dan minyak zaitun.
Dengan demikian cukup jelas bahwa budidaya monokultur pada perkebunan kelapa sawit hanya terjadi pada fase land clearing dan penanaman. Setelah fase tersebut, perkebunan kelapa sawit justru berkembang menjadi polikultur baik melalui integrasi sawit-tanaman pangan, sawit-sayuran, sawit-buah, sawit-ternak, dan pola integrasi lainnya maupun pertumbuhan alamiah biodiversitas. Sistem budidaya integrasi (polikultur) kelapa sawit dengan komoditas pertanian yang demikian mendukung kelestarian biodiversitas di dalam areal perkebunan kelapa sawit (Ghazali et al., 2016) sekaligus juga menjadi solusi dari upaya untuk mencegah degradasi lahan dan penurunan emisi GRK (Khasanah et al., 2020). Hal yang demikian, apakah ditemukan pada tanaman minyak nabati yang lain?
show lessMitos 2-05 Harga minyak sawit lebih mahal dibandingkan minyak nabati lainnya sehingga tidak layak menjadi sumber bahan pangan maupun energi dunia
Pangan dan energi merupakan kebutuhan dasar kehidupan masyarakat dunia. Sehingga availability dan affordability sumber pangan maupun energimenjadi hal yang penting jika digunakan sebagai sumber bahan pangan maupun energi dunia.
show moreHarga minyak sawit lebih murah/kompetitif dibandingkan harga minyak nabati utama lainnya (Gambar 4). Hal ini disebabkan karena produktivitas minyak sawit yang jauh lebih tinggi dibandingkan minyak nabati lain. Harga minyak sawit yang lebih murah (kompetitif) tersebut memberikan manfaat bagi masyarakat dunia. Harga minyak sawit yang relatif murah, tersedia sepanjang tahun, dan aplikasi penggunaan minyak sawit yang luas menjadikan minyak sawit sebagai substitute dari minyak nabati lainnya di pasar dunia (Kojima et al., 2016).
Gambar 4 : Perbandingan Harga Minyak Sawit dengan Minyak Nabati Utama Lainnya (Sumber: Oil World, World Bank; data diolah PASPI, 2022)

Dalam penggunaan minyak nabati sebagai bahan pangan, kehadiran minyak sawit sebagai substitute minyak nabati lain dapat mencegah terjadinya kenaikkan harga pangan yang berlebihan. Demikian juga pada penggunaan minyak nabati sebagai bahan baku energi, kehadiran minyak sawit sebagai substitute minyak nabati lain dapat mencegah terjadinya kenaikkan harga bahan baku energi (biofuel).
show lessMitos 2-06 Pangsa konsumsi minyak sawit dalam konsumsi minyak nabati masyarakat dunia relatif kecil dibandingkan minyak nabati lainnya
Setiap negara/kawasan memiliki pola konsumsi minyak nabati yang berakar pada sejarah, selera, dan ketersediaan sumber minyak nabati. Secara internasional, ketersediaan dari berbagai jenis minyak nabati merupakan bagian dari ketahanan pangan global.
show moreDalam sejarah konsumsi minyak nabati utama dunia telah mengalami perubahan penting. Pangsa minyak sawit dalam konsumsi minyak nabati global semakin mendominasi dan terus meningkat dari tahun ke tahun (Gambar 5).
Gambar 5 : Perkembangan Pangsa Minyak Sawit dalam Konsumsi Empat Minyak Nabati Utama Dunia (Sumber: USDA; data diolah PASPI, 2022)

Minyak nabati yang paling banyak dikonsumsi pada tahun 1965 adalah minyak kedelai (61 persen), kemudian diikuti dengan minyak rapeseed (23 persen), minyak sawit (16 persen) dan minyak bunga matahari (1 persen). Dengan makin tersedianya minyak sawit secara internasional, harga yang relatif lebih murah dan aplikasi yang luas menyebabkan pangsa penggunaan minyak sawit mengalami peningkatan
Kehadiran minyak sawit telah menggeser dominasi minyak kedelai dalam struktur konsumsi empat minyak nabati utama dunia. Pada tahun 2021, pangsa minyak sawit menempati posisi pertama yakni 40 persen. Kemudian disusul oleh minyak kedelai (33 persen), minyak rapeseed (17 persen) dan minyak bunga matahari (11 persen).
Peningkatan pangsa konsumsi minyak sawit dalam konsumsi empat minyak nabati utama dunia, juga terjadi di berbagai negara/kawasan utama dunia seperti India, China, Afrika, Uni Eropa, dan Amerika Serikat. Uni Eropa sebagai produsen minyak rapeseed dan minyak bunga matahari, dimana kedua minyak nabati tersebut juga mendominasi konsumsinya. Hal yang menarik dalam periode tahun 2000-2021, pangsa konsumsi minyak sawit Uni Eropa mengalami peningkatan yakni dari 24 persen menjadi 29 persen (USDA, 2022).
Hal yang serupa juga terjadi di Amerika Serikat. Minyak nabati utama bagi masyarakat Amerika Serikat adalah minyak kedelai. Meskipun minyak kedelai masih mendominasi konsumsi minyak nabati di Amerika Serikat, namun proporsi penggunaan minyak sawit mengalami peningkatan dari 3 persen menjadi 10 persen selama periode 1980-2021 (USDA, 2022).
Pola konsumsi minyak nabati China pada tahun 1965 didominasi oleh minyak rapeseed (68 persen), kemudian diikuti oleh minyak kedelai (24 persen) dan minyak sawit (9 persen). Seiring dengan pertumbuhan penduduk dan perkembangan ekonomi China, pangsa konsumsi minyak sawit mengalami pertumbuhan dari tahun ke tahun sehingga pangsanya mencapai 19 persen pada tahun 2021 (USDA, 2022).
Berbeda dengan tiga negara sebelumnya, pola konsumsi minyak nabati di India relatif kompetitif pada tahun 1980 yakni minyak rapeseed (39 persen), minyak kedelai (37 persen), dan minyak sawit (23 persen). Seiring dengan pertumbuhan penduduk dan perkembangan ekonomi India, pangsa konsumsi minyak sawit tumbuh cepat dan mendominasi konsumsi minyak nabati India. Pangsa minyak sawit meningkat dari 37 persen tahun 1980 menjadi 44 persen pada tahun 2021 (USDA, 2022).
Perkembangan di atas menunjukkan bahwa peran minyak sawit secara internasional semakin penting dan signifikan. Pergeseran konsumsi minyak nabati dunia semakin memperbesar porsi minyak sawit merupakan pilihan yang realistis karena produktivitas minyak sawit jauh lebih tinggi sehingga lebih sustainable.
show lessMitos 2-07 Isu Persaingan Minyak Nabati Global : Minyak sawit tidak sesuai untuk digunakan sebagai bahan baku biodiesel
Untuk mengurangi ketergantungan pada fossil fuel sekaligus mengurangi emisi global, masyarakat internasional sedang melakukan subsitusi fossil fuel dengan biofuel, termasuk biodiesel. Dalam pengembangan biodiesel di setiap negara menggunakan minyak nabatiyang tersedia di negara yang bersangkutan.
show moreMinyak sawit adalah minyak nabati yang serbaguna (versatile ingredient) sehingga dapat digunakan secara meluas baik pada produk pangan maupun non-pangan, termasuk untuk energi alternatif. Salah satu produk energi nabati/biofuel berbasis minyak sawit adalah biodiesel yang digunakan untuk mensubsitusi penggunaan diesel fosil.
Minyak sawit merupakan bahan baku (feedstock)utama yang paling banyak digunakan oleh industri biodiesel global (PASPI Monitor, 2019e). Selama periode tahun 2015-2021, penggunaan minyak sawit sebagai bahan baku industri biodiesel dunia mengalami peningkatan (Gambar 6) yakni dari 6.2 juta ton (22 persen) menjadi 15.2 juta ton (36 persen).
Gambar 6 : Perkembangan Penggunaan Minyak Nabati/Lemak Hewani dalam Industri Biodiesel Dunia

Sedangkan minyak nabati dan lemak hewani lainnya yang digunakan sebagai bahan baku industri biodiesel dunia tahun 2021 adalah minyak kedelai (29 persen), minyak rapeseed (14 persen), minyak jelantah/UCO (12 persen), tallow (2 persen), minyak bunga matahari (1 persen) dan lainnya (6 persen). Data tersebut menunjukkan bahwa peranan minyak sawit dalam industri biodiesel dunia semakin penting.
Penggunaan minyak sawit pada industri biodiesel dunia tersebut disebabkan karena keunggulan yang dimiliki minyak sawit. Harganya yang relatif kompetitif, volume besar, dan pasokan yang stabil sepanjang tahun membuat minyak sawit sesuai dengan kebutuhan industri biodiesel dunia (Mekhlief et al., 2011; PASPI Monitor, 2021w).
Uraian di atas menunjukkan minyak sawit tidak hanya sesuai untuk digunakan sebagai bahan baku biodiesel dunia, tetapi juga lebih unggul dibandingkan minyak nabati lainnya. Hal ini terkonfirmasi oleh peningkatan pangsa minyak sawit dalam bahan baku industri biodiesel dunia.
show lessMitos 2-08 Penggunaan minyak sawit sebagai bahan baku biodiesel Uni Eropa mengalami penurunan
Pengembangan renewable energy di kawasan Uni Eropa merupakan bentuk komitmen atas kesepakatan Kyoto Protocol terkait pengurangan emisi Gas Rumah Kaca (GRK). Kebijakan tersebuttertuang dalam Directive 2009/28/EC (RED I) yang diadopsi sejak 23 April 2009 (PASPI Monitor, 2019c; Suharto et al., 2019). Implementasi kebijakan tersebut berdampak pada peningkatan produksi dan promosi penggunaan energi berkelanjutan berbasis nabati/tanaman (crop-based biofuel) atau yang disebut dengan energi berkelanjutan generasi pertama (first generation biofuel).
show moreMeskipun penggunaan minyak sawit sebagai bahan baku biodiesel masih berpolemik di Uni Eropa, fakta menunjukkan bahwa industri biodiesel Uni Eropa masih menggunakan minyak sawit sebagai bahan baku biodiesel. Bahkan penggunaan minyak sawit untuk biodiesel menunjukkan peningkatan dari 980 ribu ton (10 persen) pada tahun 2011 menjadi 2.6 juta ton (18 persen) pada tahun 2021 (Gambar 7).
Gambar 7 : Penggunaan Minyak Sawit dalam Industri Biodiesel Uni Eropa

Fenomena menarik adalah kehadiran minyak sawit sebagai bahan baku biodiesel Uni Eropa dapat mengurangi beban minyak rapeseed. Minyak rapeseed adalah minyak nabati utama yang diproduksi oleh Uni Eropa dengan penggunaan utama sebagai bahan pangan. Jika minyak rapeseed digunakan untuk biodiesel, maka Uni Eropa akan menghadapi masalah trade-off food-fuel. Ketersediaan minyak sawit di pasar Uni Eropa dapat menjadi alternatif bahan baku biodiesel Uni Eropa sehingga penggunaan minyak rapeseed untuk biodiesel dapat dikurangi. Hal ini terkonfirmasi dari penurunan penggunaan minyak rapeseed dalam industri biodiesel Uni Eropa yakni dari 6.8 juta ton (67 persen) menjadi 5.8 juta ton (39 persen) selama periode tahun 2011-2021.
Pilihan pelaku usaha industri biodiesel Uni Eropa yang semakin banyak menggunakan minyak sawit sebagai bahan baku biodiesel merupakan pilihan personal. Dari segi harga dan pasokan membuat industri biodiesel Uni Eropa tetap mempertahankan penggunaan minyak sawit sebagai bahan baku.
show lessMitos 2-09 Pengembangan biofuel sawit menyebabkan trade-off food-fuel
Penggunaan produk pertanian untuk biofuel telah lama menjadi polemik di kalangan masyarakat dunia yang dikenal sebagai fenomena trade-off food-fuel. Isu tersebutmenyangkut isu etika dan isu ekonomi (Rajagopal et al., 2009; Thompson, 2012; Tomei dan Helliwell, 2015; Judit et al., 2017).
show moreStudi Zilberman et al. (2012), Abott (2014), dan Zhang et al. (2013) telah mengkaji keterkaitan antara lonjakan harga beberapa komoditas pangan seperti jagung, tebu, minyak nabati, dan serelia seiring dengan peningkatan produksi biofuel. De Gorter et al., (2015) mengungkapkan bahwa sektor biofuel bertanggung jawab atas hampir 80 persen peningkatan harga produk pangan. Namun Durham et al. (2012) mengungkapkan bahwa kontribusi produksi biofuel tidak signifikan dalam peningkatan harga pangan. Studi-studi tersebut menunjukkan bahwa isu trade-off food-fuel masih menjadi perdebatan.
Isu trade-off food-fuel terjadi akibat keterbatasan suplai. Sehingga solusi untuk mengatasi atau meminimumkan terjadinya trade-off tersebut adalah dengan meningkatkan availability dan affordability dari minyak nabati dunia. Kehadiran minyak sawit sebagai minyak nabati terbesar di dunia berperan penting dalam pemenuhan bahan pangan dunia maupun bahan baku energi dunia.
Hal ini setidaknya terkonfirmasi pada tahun 2011-2021 (Gambar 8). Penggunaan minyak sawit sebagai bahan baku biodiesel dunia meningkat dari 3.9 juta ton menjadi 15.4 juta ton. Meskipun terjadi peningkatan penggunaan minyak sawit pada biodiesel dunia, namun hal tersebut tidak menyebabkan harga CPO dunia meningkat. Tren harga CPO dunia justru menunjukkan kecenderungan penurunan pada period yang sama.
Gambar 8 : Hubungan antara Volume Penggunaan Minyak Sawit untuk Biodiesel dengan Harga CPO dan Crude Oil Dunia (Sumber: World Bank; USDA; data diolah PASPI, 2022)

Uraian di atas menunjukkan bahwa kehadiran minyak sawit bukan menyebabkan atau memperparah trade-off food-fuel. Justru sebaliknya, kehadiran minyak sawit dengan segala keunggulannya mampu meminimumkan potensi terjadinya trade-off food-fuel tersebut secara internasional (PASPI Monitor, 2021n).
show less